Kamis, 06 Juni 2013

KEKERABATAN



tentang kekerabatan (kekeluargaan)


Kata family berasal dari bahasa Belanda dan Inggris yang sudah umum dipakai dalam bahasa Indoneisa seh Dalam antropologi sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan (melalui hubungan darah atau dengan melalui hubungan status perkawinan).

Pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila ia memiliki pertalian atau ikatan darah dengan seseorang lainnya, contoh kongkrit dari hubungan darah ialah kakak-adik sekandung.[1][ingga dapatlah dikatakan ia  Hubungan melalui perkawinan adalah bila seseorang menikah dengan saudaranya, maka ia menjadi kerabat akan seseorang yang dikawini oleh saudaranya itu, contoh kongkrit dari hubungan perkawinan ialah adik ipar atau kakak ipar  bibi, dari adik ibu.telah diindonesianisasi. Dalam kekerabatan ada yang namanya ikatan antara anggota keluarga yaitu terdiri atas:
1)      Ikatan antara pasangan yang kawin yaitu laki-istri
2)      Ikatan antara pasangan yang kawin dan anak-anaknya yaitu hubungan orangtua anak
3)      Ikatan antara anak-anak dari pasangan yang kawin, yaitu hubungan saudara
Ikatan ini sebagian besar ditentukan oleh kebudayaan masing-masing, sekalipun d


Sistem Kekerabatan di Suku Jawa

Di dalam rumusan masalah ada permasalahan yaitu tentang bagaimana system kekerabatan Suku Jawa. Dalam system kekerabatan Jawa keturunan dari Ibu dan Ayah dianggap sama hak nya, dan warisan anak perempuan sama dengan warisan laki-laki tetapi, berbeda dengan banyak suku bangsa yang lain, yang ada Indonesia. Misalnya, dengan suku-suku Batak di Sumatra Utara, masyarakat jawa tidak mengenal system marga. Susunan kekerabatan suku jawa berdasarkan pada keturunan kepada kedua belah pihak yang di sebut Bilateral atau Parental yang menunjukan system penggolongan menurut angkatan-angkatan. Walaupun hubungan kekerabatan di luar keluarga inti tidak begitu ketat aturannya, namun bagi orang jawa hubungan dengan keluarga jauh adalah tetap penting.

Masyarakat Jawa dalam hal perkawinana melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencangkup
  • Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).
  • Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
  • Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin kawin.
  • Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
  • Pingitan ; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
  • Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.
  • Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.
  • Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
  • Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.
  • Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.
Jika di dalam perkawinan ada masalah antara suami istri maka dapat dilakukan "Pegatan" (Perceraian). Jika istri menjatuhkan cerai di sebut "talak" sedangkan istri meminta cerai kepada suami di sebut "talik". Jika keinginan isteri tidak di kabulkan oleh suami istri mengajukan ke pengadilan maka di sebut "rapak". Jika ingin kembali lagi jenjang waktunya mereka rukun kembali adalah 100 hari di namakan "Rujuk" jika lebih dari 100 hari dinamakan "balen" (kembali). Setelah cerai seorang janda boleh menikah dengan yang lain setelah "masa Iddah".

Ada bentuk perkawinan lain yaitu :
Perkawinan Magang
Perkawinan triman
Perkawinan unggah unggahi
Perkawinan paksa

ISTILAH KEKERABATAN ORANG JAWA BERDASARKAN PERKAWINAN


Morosepuh Morosepuh Ibu Bapak
Pripeyan Ipe Pripeyan Ipe Ipe Garwo Ego (saya) Ipe
Besan Besan

Keterangan:

= Laki-laki
= Perempuan

= Kawin Mantu Anak-anak Mantu
= Saudara Sekandung
= Keturunan
Fungsi Ideal Kekerabatan
Sistem kekrabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak saudulur (kindred). Khusus di daerah Yogyakarta bentuk kerabat disebut alur waris (sistem trah), yang terdiri dari enam sampai tujuh generasi.
1.      Dari sistem kekerabatan ini maka: eorang ego mempunyai dua orang kakek dan dua orang nenek.
2.      Suku Jawa mengenal keluarga luas (kindred).
3.      Hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan sama, dimata hukum.
4.      Adat setelah menikah adalah Neolokal.
5.      Perkawinannya bersifat Eksogami, meskipun ada yang melakukan perkawinan Cross Cousin.
6.      Perkawinan yang dilarang antara lain:
a. perkawinan dengan saudara sekandung (incest taboo).
b. perkawinan pancer lanang (perkawinan antara anak-anak dari dua orang tua yang bersaudara laki-laki.
c. Kawin lari.
  1. Suku Jawa mengenal (diijinkan):
a. Perkawinan Ngarang Wulu yaitu perkawinan duda dengan saudara perempuan istrinya yang sudah meninggal (sororat).

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang didalam kelompok kerabatnya adalah sebagai berikut.
a. Ego menyebut orang tua laki-laki dengan Bapak atau Rama.
b. Ego menyebut orang tua perempuan dengan Simbok atau Biyung.
c. Ego menyebut kakak laki-laki dengan Kamas, Mas, Kakang Mas, Kakang, Kang.
d. Ego menyebut kakak perempuan dengan Mbak Yu, Mbak, Yu.
e. Ego menyebut adik laki-laki dengan Adhi, Dhimas, Dik, Le.
f. Ego menyebut adik perempuan dengan Adhi, Dhi Ajeng, Ndhuk, Dhenok.
g. Ego menyebut kakak laki-laki dari ayah atau ibu dengan Pak Dhe, Siwa, Uwa.
h. Ego menyebut kakak perempuan dari ayah atau ibu dengan Bu Dhe, Mbok Dhe, Siwa.
i. Ego menyebut adik laki-laki dar
ri ayah atau ibu dengan Paman, Pak Lik, Pak Cilik.
j. Ego menyebut adik perempuan dari ayah atau ibu dengan Bibi, Buklik, Ibu Cilik, Mbok Cilik.
k. Ego menyebut orang tua ayah atau ibu baik laki-laki maupun perempuan dengan Eyang, Mbah, Simbah, Kakek, Pak Tua. Sebaliknya Ego akan disebut Putu.
l. Ego menyebut orang tua laki-laki/ perempuan dua tingkat diatas ayah dan ibu Ego dengan Mbah Buyut. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu Buyut, Buyut.
m. Ego menyebut orang tua laki-laki/perempuan tiga tingkat diatas ayah dan ibu Ego dengan Mbah Canggah, Simbah Canggah, Eyang Canggah. Sebaliknya Ego akan disebut Putu Canggah, Canggah.
Di Yogyakarta tata cara sopan santun pergaulan seperti diatas berlaku diantara kelompok kerabat (kinship behavior). Bagi orang muda adalah keharusan menyebut seseorang yang lebih tua darinya baik laki-laki maupun perempuan dengan istilah tersebut diatas, karena orang yang lebih tua dianggap merupakan pembimbing, pelindung, atau penasehat kaum muda. Melanggar semua perintah dan nasihat kaum tua dapat menimbulkan sengsara yang disebut dengan kuwalat.

B.     Fungsi Aktual Kekerabatan


Dalam masyarakat Jawa, adanya istilah kindred (keluarga luas) menunjukkan arti penting dalam kebersamaan keluarga luas. Namun, dalam kehidupan keluarga saya, masing-masing anggota keluarga lebih fokus terhadap keluarga intinya, namun hal itu tidak memutus tali silahturahmi antar anggota keluarga luas, walaupun memang frekuensi silahturahmi tersebut jarang.
Selain itu, sebutan atau panggilan yang menunjukkan kekerabatan keluarga sedikit demi sedikit telah terkikis. Sebagai contoh, dalam keluarga saya dalam memanggil orang tua perempuan (ibu) tidak dengan panggilan “simbok” atau “biyung”, namun dengan panggilan “mama”. Begitu pula dalam memanggil adik laki-laki dari ayah atau ibu, keluarga saya menggunakan panggilan “oom” dan panggilan untuk adik perempuan dari ayah atau ibu adalah “tante”.
Dalam hal melanggar perintah dan nasihat orang tua di masyarakat Jawa juga mulai tergeser nilainya. Bukan berarti melanggar perintah dan nasihat orang tua itu mulai diperbolehkan, namun maksud dari pergeseran tersebut adalah pergeseran pola pikir yang tadinya sikap menaati perintah dan nasihat orang tua adalah untuk menghindari “kuwalat“, namun sekarang karena menghindari timbulnya dosa dan sebagai sikap hormat terhadap orang yang lebih tua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar